
Alain Scialoja, founder Koro Roasters, cerita tentang perjalanan hidupnya, dari merakit robot hingga coffee roasting dan bagaimana Indonesia memimpin revolusi kopi spesialti dunia.
Sepuluh tahun lalu, hidup saya dipenuhi dengan meeting online, membangun produk teknologi yang membuat board of directors kagum, tapi tidak benar-benar menyentuh kehidupan manusia. Sekarang, saya duduk bersila di atas tikar anyaman bersama petani kopi di Indonesia, menciptakan sesuatu yang membuat banyak orang tersenyum setiap pagi, saya menyadari bahwa Indonesia tidak hanya menanam kopi hebat, tapi juga menumbuhkan masa depan kopi itu sendiri.
Cerita ini bukan sekadar kisah pindah karier dari teknologi ke passion. Ini tentang menyadari bahwa budaya kopi paling maju di dunia bukan hanya ada di lorong-lorong Melbourne atau kafe third-wave Berlin. Itu terjadi di sini, di Indonesia, di mana petani dan roaster duduk bareng, membuat feedback loop yang ngubah specialty coffee..
Anak Desa Italia yang Merasa Sudah Mengerti Kopi
Masa kecil saya dihabiskan di sebuah desa kecil di Italia, tempat espresso bukan hanya minuman tapi jadi kebiasaan. Kopi pagi dengan nonna, espresso setelah makan siang, dan break sore bareng teman-teman. Kopi adalah ritual, komunitas, identitas. Saya pikir saya sudah tahu segala sesuatu tentang kopi hanya karena saya orang Italia.
Siena, Alain's hometown
Tapi sekarang, saya punya persepsi yang berbeda dan saya belajar satu hal penting: kopi itu budaya, bukan sekadar komoditas.
Tahun-tahun Korporat: Saat Kopi Hanya Jadi Bahan Bakar
Pekerjaan pertama saya di Brussel adalah mengembangkan software di kantor, dan bekerja sendiri ditemani kopi instan yang rasanya ..blah. Dari situlah perjalanan kopi saya dimulai, bukan di kafe, tapi di dapur apartemen kecil, saya coba menyempurnakan espresso dengan moka pot yang saya bawa dari rumah.
Lembur panjang sambil debugging dengan kopi yang enak mengajarkan satu hal: kopi yang enak membuat semuanya jadi lebih baik. Saya mulai serius dengan home brewing, saya beli peralatan, belajar soal ekstraksi. Teman-teman kantor bilang saya terobsesi dengan kopi, tapi in a way, mereka benar.
Ketika pekerjaan membawa saya ke Melbourne, segalanya berubah. Satu tegukan long black di Seven Seeds meruntuhkan semua keyakinan saya tentang kopi Italia. Ternyata kopi bisa terasa seperti buah beri? Espresso tidak harus pahit? Sejak itu, saya jadi sering menyeret orang lain ke Market Lane atau Duke’s Coffee, mendengarkan dan berbagi cerita soal waktu ekstraksi dan karakter origin.
Di Melbourne itulah saya menemukan gaya kerja remote. Sambil membangun karier digital nomad, saya juga menemukan bahwa kopi bisa menjadi craftsmanship, bukan sekadar tradisi. Dua perjalanan ini tampak terpisah, tapi sebenarnya saling terhubung.
Tahun Presisi: Stockholm & Berlin
Saat mengelola tech startup di Stockholm, saya mengenal budaya kopi Nordik di Drop Coffee. Swedia mengajarkan satu hal: presisi itu penting, tapi jeda juga berharga. Fika, tradisi ngopi sore mereka, membuat kopi terasa lebih ilmiah sekaligus soulful

Berlin melengkapi semua puzzle itu. Saat bergabung dengan Infarm sebagai karyawan kedua, awalnya kami hanya berempat dengan visi gila: membuat tanaman segar tumbuh di toko-toko, bahkan di musim dingin. Kami menciptakan sistem pertanian vertikal otomatis dengan AI yang mengatur nutrisi, terus belajar, terus berkembang.
Instore farms
Melihat pelanggan memanen tanaman basil mereka sendiri dan mempostingnya di social media, itu adalah momen ketika teknologi benar-benar menyentuh hidup orang.
Challenge paling menarik itu membawa biology, agriculture, operations, sama technology jadi satu - dapet feedback dari orang-orang dengan background yang beda banget dan bikin sesuatu yang berguna buat semua orang. Kita udah pakai data-driven approaches buat improve food production hampir satu dekade lalu, nunjukin gimana teknologi bisa increase yields sama quality di agriculture.
Untuk pertama kalinya di tech, saya bisa literally ngerasain hasil kerja saya.
Lunch at Infarm
Yang paling saya sukai adalah elemen manusianya. Tim kami dari berbagai negara, saling berbagi cerita sambil memasak dengan bahan yang kami tanam sendiri. Teknologi bisa meningkatkan hasil panen, meningkatkan kualitas dan baru sekarang saya bisa langsung merasakan hasil kerja saya.
Namun, di sela itu, saya sering kabur ke Five Elephant atau The Barn, kafe spesialti terbaik di Berlin. Kopinya luar biasa, tapi saya mulai bertanya: di mana cerita para petani yang menanamnya?
Si Pengembara: Kopi sebagai Bahasa Universal
Paspor saya penuh cap, Nepal, India, Iran, Lebanon, Amerika Selatan, dan banyak lagi. Kerja remote memungkinkan saya menjelajahi dunia, dan di setiap tempat saya mencari kopi dari qahwa tradisional di Beirut sampai manual brew di pegunungan Peru.
Alain Scialoja in Macchu Picchu, Peru
Kopi menjadi bahasa universal. Di mana pun, kopi mencerminkan budaya dan nilai lokal. Tapi satu hal yang tetap sama: petani yang menanamnya jarang terlihat oleh mereka yang menikmatinya.
Indonesia: Tempat Semua Berpadu
Indonesia awalnya cuma jadi satu tempat perhentian di perjalanan saya. Tapi setelah mengunjungi kebun di Flores dan Jawa, ikut workshop cupping, dan belajar ekonomi kopi dari bawah, saya sadar ini bukan sekadar singgah.
Cherry selection in Flores
Bayangkan duduk melingkar bersama petani setelah seharian cupping. Sinar matahari sore masuk lewat jendela. Mereka tidak hanya mendengar, mereka mengajar. Petani menjelaskan proses fermentasi anaerobik, teknik pengeringan unik, inovasi yang bahkan belum saya temui di kafe paling progresif di Berlin.
Di sini, produsen dan konsumen tidak terpisah benua. Mereka duduk di meja yang sama, berbagi ilmu, berkembang bersama.
Pengalaman di Infarm tiba-tiba terasa relevan. Saya tahu bagaimana teknologi bisa meningkatkan pertanian dan hasil panen. Keterampilan itu akhirnya menemukan tujuan.
Menemukan Rumah (dan Cinta)
Indonesia memberi saya lebih dari sekadar pencerahan soal kopi. Di sini saya menemukan cinta, istri saya, yang mengerti latar belakang teknologi saya sekaligus mendukung obsesi kopi saya. Hidup nomaden tak lagi menarik dibanding membangun sesuatu yang berakar, yang berarti.
Alain Scialoja and his wife in Jakarta
Setiap sesi cupping, setiap kunjungan kebun, setiap obrolan dengan orang-orang kopi di sini semakin meyakinkan: masa depan kopi sedang ditulis di Indonesia.
Kenapa Kopi Indonesia Berbeda
Inilah yang gak banyak diceritakan: sementara kota-kota spesialti dunia sibuk memperbaiki flat white, petani Indonesia merevolusi pengolahan di sumbernya.
Indonesia tidak mengikuti tren global, Indonesia yang menciptakan tren. Lihat saja: barista Indonesia juara dunia, petani Indonesia memenangkan Cup of Excellence, Indonesia menjadi tuan rumah World of Coffee 2025.
Di sini, feedback loop antara petani dan roaster terjadi cepat. Petani mencoba fermentasi baru, dua minggu kemudian kami roasting sampelnya bareng-bareng, cupping, berdiskusi. Kami menyesuaikan roasting berdasarkan masukan mereka, mereka memperbaiki proses dari feedback kami. Ini bukan supply chain, ini kolaborasi.
Lahirnya Koro
Tahun-tahun membangun sistem, menganalisis data, menciptakan platform, ternyata semua itu adalah proses mempersiapkan saya. Di Koro, kami pakai kontrol kualitas berbasis data bukan untuk mengganti tradisi, tapi untuk memperkuatnya. Kami melacak hal penting kelembaban, perkembangan, konsistensi, agar bisa menerjemahkan visi petani ke dalam setiap cangkir.
Public cupping at Koro Roasters
Saat saya duduk bersama petani, berbagi data roasting dan catatan cupping, saya melihat semangat yang sama seperti ketika sistem Infarm pertama kali berjalan sempurna. Bedanya, sekarang hasilnya bukan sayuran di supermarket. Hasilnya adalah kopi yang membuat orang berhenti sejenak di pagi yang sibuk, menutup mata, dan tersenyum.
Inovasi yang Sebenarnya
Pendekatan kolaboratif ini menciptakan sesuatu yang belum pernah ada. Setiap kantong kopi Koro membawa cerita: warisan Italia bertemu pendidikan kopi Melbourne, presisi Stockholm, inovasi Berlin, dan semangat kolaborasi revolusioner Indonesia.
Technology is central at Koro Roasters
Dunia teknologi suka bicara soal disrupsi. Kopi Indonesia melakukannya secara diam-diam, biji demi biji. Dan saya bangga bisa jadi bagian dari cerita ini, menerjemahkan inovasi ke dalam setiap roast.
Apa Selanjutnya?
Kami nggak berhenti di sini. Sesuatu yang besar lagi disiapkan inovasi “Made in Indonesia” yang akan mengejutkan dunia kopi. Kami sedang mengembangkan teknologi yang membuat kolaborasi antara roaster dan petani semakin efektif, berbagi data dan insight secara real-time.
Indonesia bukan hanya menghasilkan kopi hebat, Indonesia menghasilkan alat untuk membuat kopi dunia menjadi lebih baik.
Ini adalah momen Indonesia. Dunia akhirnya menyadari apa yang kita tahu sejak lama, bahwa budaya kopi paling maju tidak ada di Barat. Budaya Kopi paling mau itu ada di sini, di Indonesia, di mana tradisi bertemu inovasi, di mana petani dan roaster menjadi partner, di mana setiap cangkir membawa cerita kolaborasi.
Dan rasanya, sangat luar biasa….